Resensi Novel Sang Alkemis
Sang Alkemis atau dalam bahasa asli penulisnya berjudul O Alquimista merupakan sebuah karya dari Paulo Coelho yang diterbitkan pada tahun 1988 dan telah diterbitkan dalam 67 bahasa. Paulo Coelho merupakan novelis besar Brasil dan salah satu penulis dengan karya yang paling banyak dibaca di dunia saat ini.
Sang Alkemis merupakan kisah yang sederhana, namun menyimpan kebijaksanaan penuh makna. Menceritakan anak laki-laki pengembala bernama Santiago yang berasal dari Spanyol, ia besar dan tumbuh dipandang rumput Andalusia. Santiago bertekad mengikuti mimpinya berkelana menuju padang pasir Mesir untuk mencari harta karun diantara Piramida-Piramida. Sebuah perjalanan yang semula bertujuan untuk mencari harta karun duniawi hingga akhirnya menjadi penemuan harta dalam dirinya.
Kitalah yang menentukan jalan hidup, semesta yang akan menuntun langkahnya.
Perjalanan kisah diawali dengan seorang anak laki-laki bernama Santiago, yang karena keinginannya berkelana sehingga memutuskan menjadi pengembala, padahal orang tuanya ingin Santiago menjadi pastor. Saat Santiago tidur ketika ia sedang mengembalakan domba, mimpi yang sama kembali dialaminya, mimpi tetang seorang anak kecil yang sedang bermain dengan domba-dombanya, hingga tiba-tiba anak itu meraih tangan Santiago dan memindahkannya ke piramida-piramida Mesir. Anak itu berkata “Kalau kau datang kemari, kau akan menemukan harta karun”. Tapi ketika anak kecil itu hendak menunjukkan lokasi persisnya, Santiago terbangun.
Magnet takdirpun mempertemukan Santiago dengan wanita tua Gipsi yang menafsirkan mimpinya. “Kau harus pergi ke Piramida-Piramida di Mesir itu. Aku belum pernah mendengar tentangnya, tapi andai seorang anak yang menunjukannya padamu, berarti mereka ada. Disana kau akan menemukan harta yang bakal membuatmu kaya raya.”
Sampai akhirnya Santiago bertemu seorang lelaki tua saat ia sedang membaca buku. Orang tua itu mengomentari buku yang sedang di baca, seolah orang tua itu sudah membaca buku itu. “Isi buku itu sama dengan isi hampir semua buku lain di dunia, dalam buku itu digambarkan ketidakmampuan orang memilih takdir mereka sendiri. Dan pada akhirnya dikatakan bahwa setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia.”
“Apakah gerangan dusta terbesar itu?” tanya Santiago; “Beginilah dusta terbesar itu: bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita, dan hidup kita jadi dikendalkan oleh nasib. Demikian dusta terbesar itu.” Pria tua itu benama Melkisedek, raja Salem. Pria tua itu seolah tau akan mimpi Santiago dan menawarkannya cara untuk menemukan harta karun itu.
Pertemuan itu menghasilkan kegelisahan pada Santiago, apakah tetap menjadi pengembala, bertemu putri saudagar yang ia sukai atau mengejar mimpinya. Namun akhirnya Santiago memutuskan untuk mengejar mimpinya untuk menemukan harta karun. “Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing-masing orang, kau tinggal membaca pertanda-pertanda yang ditinggalkan-Nya untukmu.”
Perjalanan dalam keyakinan tidaklah mudah, namun tidak semuanya adalah penderitaan.
Dalam perjalanannya, Santiago mengalami berbagai rintangan. Hanya satu hari setibanya di Aftika, ia di tipu hingga semua uangnya hilang dan akhirnya ia bertemu pedagang kristal dan bekerja padanya. Sudah sebelas bulan sembilan hari sejak ia pertama kali bekerja, dengan uang yang dikumpulkan, ia memutuskan untuk mendatangi Piramida-Piramida itu.
Santiago mendatangi karavan-karavan yang melintasi padang pasir, ia bertemu dengan pemuda Inggris yang sedang berkelana untuk mencari alkemis, orang yang memiliki kekuatan yang luar biasa yang mampu mengubah logam apapun menjadi emas. Dalam perjalanannya, ia terdampar di oasis karena perang antar suku arab. Disinilah ia bertemu Fatima dan jatuh cinta padanya, namun ia harus pergi meninggalkannya untuk mengejar mimpinya.
“Padang gurun ini mengambil kaum pria kami, dan mereka tidak selalu kembali. Kami sudah tau itu, dan kami sudah terbiasa. Mereka yang tidak kembali, menjadi bagian dari awan-awan, bintang-bintang yang bersembuyi di jurang-jurang dan air yang memanacar dari dalam bumi. Mereka menjadi bagian dari sesuatu… mereka menjadi Jiwa Dunia. Bukit-bukit pasir ini senantiasa berubah diembus angin, akan tetapi padang gurun itu tak pernah berubah. Begitu pula cinta kita. Kalau aku memang bagian dari mimpimu, suatu hari kau pasti kembali.”
Jatuh berkali-kali, bangun berkali-kali. Namun akhirnya belajar sesuatu yang pada awalnya dianggap hal yang mustahil.
Dalam perjalanan Santiago dan Alkemis, mereka ditangkap dan dibawa ke sebuah perkemahan militer. Mereka dicurigai sebagai mata-mata dari suku lain yang sedang terlibat dalam peperangan. Demi menyelamatkan nyawa Santiago, sang Alkemis berbohong kepada para tentara, bahwa Santiago adalah Alkemis.
“Apa sebenarnya Alkemis itu? Tanya prajurit Arab. “Alkemis adalah orang yang memahami alam dan dunia. Kalau mau, dia bisa menghancurkan perkemahan dengan kekuatan angin”. Para prajurit tertawa, dan pemimpin pasukan ingin melihat Santiago melakukannya. Sang Alkemis meminta untuk memberikan waktu tiga hari untuk membuktikannya, dan jika gagal sang Alkemis menjanjikan nyawa mereka. Sang Alkemis meyakinkan Santiago, “Jangan menyerah pada rasa takutmu, kalau kau menyarah, kau tidak akan bisa berkomunikasi dengan hatimu.” Kata sang Alkemis. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengubah diriku menjadi angin.”; “Orang yang menjalani takdirnya tahu segala yang perlu diketahuinya. Hanya ada satu hal yang membuat orang tak bisa meraih impiannya: takut gagal.”
Pada hari ketiga, Santiago mengajak sang pemimpin pasukan dan prajuritnya ke tebing karang dan menyuruh mereka duduk. Santiago memandang ke cakrawala dan mengajak padang pasir dan angin berbincang. “Siapa yang mengajarimu berbicara dalam bahasa padang pasir dan angin?” “Hatiku,” sahut Santiago. Angin pun bertiup sepenuh kekuatannya, dan langit penuh dengan pasir beterbangan. Matahari tampak bagai bulatan keemasan.
Mereka hampir-hampir tidak bisa melihat Santiago. Wajah mereka tertutup kain biru, mata mereka menyorot ketakutan. “Mari hentikan ini,” seorang komandan lain berkata. “Aku ingin melihat kebesaran Allah,” Pemimpin pasukan berkata dengan takzim. “Aku ingin melihat bagaimana seorang manusia mengubah dirinya menjadi angin.
Setelah simum berhenti bertiup, semua orang memandang ke tempat Santiago tadi berdiri. Tapi dia tidak ada di sana; dia berdiri di samping seorang penjaga yang tubuhnya tertutup pasir, di sebelah ujung perkemahan. Orang-orang merasa takjub akan kedahsyatan ilmu sihirnya. Akan tetapi ada dua orang yang tersenyum: sang alkemis, sebab dia telah menemukan murid yang sempurna, dan sang pimpinan pasukan, sebab murid itu telah memahami keagungan Tuhan. Keesokan harinya, pimpinan pasukan mengucapkan selamat jalan pada Santiago dan Sang Alkemis. Dia juga menyediakan pengawalan untuk menyertai mereka sejauh yang mereka kehendaki.
Akhirnya mereka tiba disebuah biara Coptic, “Mulai dari sini kau akan meneruskan seorang diri” kata Sang Alkemis. “Terima kasih,” kata Santiago. “Kau telah mengajariku Bahasa Dunia.”; “Aku hanya memunculkan apa yang telah kau ketahui didalam dirimu. Setiap orang di dunia ini, apa pun pekerjaannya, memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Dan biasanya orang itu sendiri tidak menyadarinya.” Santiago tersenyum, tak pernah dibayangkannya bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan ternyata begitu penting bagi seorang gembala. “Selamat tinggal,” kata Sang Alkemis. “Selamat tinggal” kata Santiago.
Hasil dari sebuah perjalanan bukanlah hanya ujung perjalanan itu, tapi perjalanan itu sendiri.
Santiago berhasil menemukan piramida-piramida, ia jatuh berlutut dan menangis tersedu-sedu. Dia bersyukur pada Tuhan yang telah memberinya keyakinan untuk percaya pada takdirnya, Tuhan yang telah menuntunnya hingga bertemu seorang raja, seorang pedagang, seorang Inggris, dan seorang alkemis. Dan terutama telah mempertemukannya dengan seorang perempuan gurun yang menyatakan padanya bahwa cinta tidak akan pernah menghalangi orang untuk mencapai takdirnya.
Sepanjang malam ia menggali di tempat yang telah dipilihnya, tetapi tidak menemukan apa-apa. Namun dia tidak berhenti. Dia berjuang terus menggali. Ditengah sedang berusaha menggali, dia mendengar langkah-langkah kaki.
Dia babak belur dan berdarah-darah, pakaiannya koyak-koyak, dan dia merasa ajalnya sudah dekat. “Tinggalkan dia. Dia tidak punya apa-apa lagi. Emas ini pasti hasil curian.” Santiago terjerembap ke pasir, hampir-hampir tak sadarkan diri. Pimpinan kelompok itu berkata berkata, “Kau tidak akan mati. Kau akan hidup, dan kau akan belajar untuk tidak sebodoh ini lagi. Dua tahun yang lalu, persis di tempat ini, aku juga mendapat-kan mimpi berulang. Dalam mimpiku, aku disuruh pergi ke padang-padang Spanyol, mencari sebuah gereja terbengkalai tempat para gembala dan domba-domba mereka tidur. Dalam mimpiku ada sebatang pohon sycamore tumbuh di antara puing-puing sakristi. Aku diberitahu, kalau aku menggali akar-akar pohon sycamore itu, aku akan menemukan harta karun. Tapi aku bukan orang tolol. Aku tidak mau menyeberangi bentangan padang pasir hanya gara-gara mengalami mimpi berulang.” Lalu mereka pun pergi.
Santiago bangkit berdiri dengan gemetar, dan sekali lagi memandang ke arah Piramida-Piramida itu, yang seolah tertawa kepadanya. Dia pun balas tertawa, hatinya serasa meledak oleh suka cita. Sebab sekarang dia sudah tahu, di mana harta karunnya berada.
Spanyol, angin mulai bertiup lagi. Levanter, angin yang berembus dari Afrika. Angin itu tidak membawa aroma padang pasir ataupun ancaman penyerbuan bangsa Moor. Angin itu, membawa keharuman parfum yang telah begitu dikenalnya, dan ciuman lembut, ciuman yang datang dari jauh, pelan… begitu pelan… menyapu bibirnya. Anak itu tersenyum. Baru kali itu Fatima memberinya ciuman. “Tunggu aku, Fatima,” katanya.